Perbedaan sikap ditunjukan
Indonesia menanggapi isu kekerasan etnis Rohingya di Myanmar. Indonesia
memiliki cara tersendiri dibandingkan Malaysia yang menyerukan penghentian
kekerasan dengan menggelar unjuk rasa belakangan ini. Sikap Indonesia seolah-olah
diam terhadap isu ini. Sebuah koalisi masyarakat sipil di Indonesia mendesak
Presiden Joko Widodo untuk menunjukkan simpati dan empatinya terkait
diskriminasi dan kekerasan oleh militer terhadap warga Rohingya di Myanmar.
"Sejauh ini kita
(pemerintah) diam saja, ini jadi tanda tanya besar, apakah kita tak mau tahu?
Ketika demo kemarin Presiden perhatian, tetapi kenapa saat tetangga kita lagi
bertaruh nyawa, kita tak berbuat apa-apa?" tutur juru bicara Koalisi Masyarakat
Sipil Indonesia untuk Solidaritas Rohingya (SOLIDeR), Awigra, di kantor Lembaga
Bantuan Hukum Jakarta, Senin (05/12).
Isu Rohingya kembali
mencuat setelah pemerintah Myanmar melancarkan operasi militer di Negara Bagian
Rakhine, karena kelompok militan Rohingya dituduh pemerintah Myanmar telah
membunuh sembilan penjaga pos perbatasan di Maungdaw, Rakhine.
Berdasarkan laporan tim
SOLIDeR di Myanmar, tercatat sekitar 1688 rumah warga Rohingya hancur dibakar
dan 212 orang ditembak mati sementara 22 orang warga Rohingya dibakar.
Peristiwa ini, menurut wartawan BBC di Bangladesh, Farhana Parvin, membuat
banyak warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Hubungan diplomasi
Meskipun begitu,
pemerintah Indonesia menegaskan telah melakukan 'hubungan diplomasi' dengan
Myanmar terkait dengan yang terjadi pada warga Rohingya sejak dua minggu lalu.
"Ada tujuh duta
besar asing yang diperkenankan masuk ke Negara Bagian Rakhine dan Indonesia
adalah satu-satunya negara ASEAN yang diizinkan. Kita lihat bagaimana keadaan
sebenarnya," ungkap Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha
Nasir, kepada BBC Indonesia, Senin (05/12).
Ribuan warga Rohingya memutuskan melakukan perjalanan laut 'berbahaya' untuk mencari kehidupan yang lebih baik. |
Arrmanatha mengungkapkan
meskipun tidak mau membela namun dari informasi tim di lapangan, dilaporkan
'ada kejadian yang benar, ada kejadian yang tidak benar'.
"Berita yang ada
di luar sudah kemana-mana," kata Armanatha.
Dia mencontohkan publik
hanya berfokus pada korban warga Rohingya, tetapi 'seakan melupakan'
penyerangan yang sebelumnya dilakukan satu kelompok warga Rohingnya terhadap
penjaga pos perbatasan namun jalur komunikasi Indonesia-Myanmar tetap dijalin.
"Komunikasi kita
dengan mereka (Myanmar) tetap intensif. Dubes kita di Myanmar selalu
berhubungan dengan mereka. Dubes mereka di sini juga sudah kita panggil."
Selain itu, Arrmanatha
menegaskan pemerintah Indonesia juga telah menyampaikan penolakannya atas
penggunaan militer untuk menyerang warga Rohingya.
"Ibu Menlu (Retno
Marsudi) sudah bicara dengan Menteri Dalam Negeri (Myanmar) dan menyampaikan
agar Myanmar bisa menegakkan stabilitas di Rakhine. Agar ada perlindungan dan
pengormatan HAM atas semua masyarakat di Negara Bagian Rakhine, termasuk minoritas
muslim diperhatikan. Agar perdamaian selalu menjadi syarat di Rakhine,"
ungkapnya.
Malaysia 'ditolak'
Hari Minggu (04/12)
lalu sorotan publik ASEAN terhadap krisis Rohingya bertambah ketika Perdana
Menteri Malaysia, Najib Abdul Razak, ikut dalam demonstrasi solidaritas
Rohingya.
Aksinya tersebut
mendapat kecaman, karena Najib sebagai pimpinan pemerintah dinilai seharusnya
mengambil tindakan terhadap Myanmar, bukannya ikut berunjuk rasa.
PM Najib Abdul Razak diapit oleh Wakil PM Zahid Hamidi dan Presiden PAS Abdul Hadi Awang dalam protes mengecam perlakuan Myanmar terhadap Rohingya. |
Kala itu Najib juga
menyerukan kepada Presiden Indonesia Joko Widodo untuk berdiri bersama Malaysia
menghadapi Myanmar dalam masalah Rohingya.
Namun, ajakan itu
tampaknya 'tidak diterima' pemerintah Indonesia.
"Sekarang gini ya
Mas, yang kita lihat itu hasilnya atau kita ingin teriak-teriak dari luar? Mana
yang lebih efektif? Hasilnya kan," tutur Arrmanatha Nasir.
Ribuan warga Rohingya didesak untuk tinggal di pengungsian. |
Dia mengklaim melalui
pembicaraan langsung dengan Myanmar, sejumlah permintaan Indonesia dua minggu
lalu terkait isu Rohingya sudah didengar. "Akses bantuan kemanusiaan
contohnya, sudah dibuka oleh mereka."
"Namun, ini semua kan memang
proses. Yang dibutuhkan sekarang adalah keterikatan kita dengan Myanmar, kita
beri masukan, dengan harapan mereka mendengarkan kita. Kalau semua orang, semua
negara memberikan tekanan, siapa yang dia dengarkan?" pungkas Arrmanatha.
Dari apa yang dilakukan
Indonesia sepertinya lebih mengutamakan langkah-langkah kongkrit untuk membantu
jangka pendek ataupun jangka panjang penyelesaian konflik Rohingya. Hal itu
tentunya sangat bijaksana dibandingkan dengan melakukan unjuk rasa. Perbedaan sikap
dengan Malaysia sepertinya juga dilator belakangi pengalaman Indonesia tentang
konflik-konflik di dalam negri. Indonesia tentunya sangat memahami kompleksitas
masalah konflik yang melibatkan pemerintah dengan warga sipil.
Sumber: BBC.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar